DEWARUCI/BIMASUCI 11 : Simbolisme lakon Dewa Ruci dalam wayang kulit purwa


bima-naga

O l e h :

Agung Prasetyo, Desy Nurcahyanti, Sularno, Wishnu Subroto

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

I. PENDAHULUAN

Manusia adalah makhluk budaya, dan penuh simbol-simbol. Dapat dikatakan bahwa budaya manusia diwarnai simbolisme, yaitu suatu tata pemikiran atau paham yang menekankan atau mengikuti pola-pola, serta mendasarkan diri pada simbol-simbol. Sepanjang sejarah budaya manusia, simbolisme telah mewarnai tindakan-tindakan manusia baik tingkah laku, bahasa, ilmu pengetahuan maupun religinya. Dengan perkataan lain dunia kebudayaan adalah dunia penuh simbol. Manusia berpikir, berperasaan, dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis. Ungkapan yang simbolis ini merupakan ciri khas manusia (Heru Satoto, 1987).

Simbolisme menonjol peranannya dalam tradisi atau adat istiadat Orang Jawa. Simbolisme terdapat dalam setiap karya budaya nenek moyang, serta berperan sebagai warisan budaya turun-temurun, dari generasi tua ke generasi muda.

Wayang dipandang sebagai suatu bahasa simbol dari hidup dan kehidupan yang lebih bersifat rohaniah daripada lahiriah. Orang melihat wayang seperti halnya melihat kaca rias. Jika orang melihat pergelaran wayang, yang dilihat bukan wayangnya melainkan masalah yang tersirat di dalam lakon wayang itu. Seperti halnya kalau kita melihat ke kaca rias, kita bukan melihat tebal dan jenis kaca rias itu, melainkan melihat apa yang tersirat di dalam kaca tersebut. Kita melihat bayangan di dalam kaca rias itu, oleh karenanya kalau kita melihat wayang dikatakan bahwa kita bukan melihat wayangnya, melainkan melihat bayangan (lakon) diri kita sendiri (Sri Mulyono, 1983).

Wayang kulit purwa merupakan karya seni kriya klasik, sehingga terdapat aturan konvensional, berkaitan dengan norma, simbolisasi, filosofi dan nilai lainnya, ataupun berkaitan dengan masalah bentuk wayang itu sendiri. Berdasarkan alasan tersebut bagian wayang yang terkecil sekalipun akan menarik bila diurai, karena sesuatu yang kecil itu berkaitan dengan bidang lain (Sunarto,1990). Pada paper ini akan diuraikan sebagian kecil wayang yakni Simbolisme Lakon Dewa Ruci dalam Wayang Kulit Purwa.

II. LANDASAN TEORI

A. PENGERTIAN WAYANG KULIT PURWA

Wayang adalah seni pertunjukan berupa drama yang khas. Seni pertunjukan ini meliputi seni suara, seni sastra, seni musik, seni tutur, seni rupa, dan lain-lain. Ada pihak beranggapan, bahwa pertunjukan wayang bukan sekedar kesenian, tetapi mengandung lambang-lambang keramat. Sejak abad ke-19 sampai dengan sekarang, wayang telah menjadi pokok bahasan serta dideskripsikan oleh para ahli. Macam-macam kajian tentang wayang dapat diketahui dari bibliography beranotasi, dibuat oleh V.M.C Van Groenendael, terbit tahun 1978 berjudul Annotated Bibliography of Wayang Litetarure and the Art of the Dalang. Kajian tentang wayang, menghasilkan sejumlah disertasi dan tesis, antara lain:

  1. G.A.J Hazeu, Bijdrage tot de Kennis van het Jayansche Tonnel (Leiden, 1879);
  2. W.H. Rassers, De Pandji Romans (Leiden, 1922);
  3. V.M.C. van Groenendael, Erzit een Dalang de Wayang: De Rol van de Vorstenlandse Dalang in de Indonesich – Javanese Samenleving (Amsterdam, 1982) (Ensiklopedi Kebudayaan Jawa, 2005).

Wayang sebagai penggambaran alam pikiran Orang Jawa yang dualistik. Ada dua hal, pihak atau kelompok yang saling bertentangan, baik dan buruk, lahir dan batin, serta halus dan kasar. Keduanya bersatu dalam diri manusia untuk mendapat keseimbangan. Wayang juga menjadi sarana pengendalian sosial, misalnya dengan kritik sosial yang disampaikan lewat humor. Fungsi lain adalah sebagai sarana pengukuhan status sosial, karena yang bisa menanggap wayang adalah orang terpandang, dan mampu menyediakan biaya besar. Wayang juga menanamkan solidaritas sosial, sarana hiburan, dan pendidikan (Sumaryoto, 1990).

Secara umum, pengertian wayang adalah suatu bentuk pertunjukan tradisional yang disajikan oleh seorang dalang, dengan menggunakan boneka atau sejenisnya sebagai alat pertunjukan (Sedyawati; Darmono, 1983). Boneka wayang merupakan alat untuk menggambarkan kehidupan umat manusia, sedangkan dari segi bentuk berbeda dari tubuh manusia secara nyata. Sastroamidjojo (1964) mengatakan bahwa boneka wayang diukir menurut sistem tertentu. Perbandingan antar bagian badan tidak seimbang satu sama lain. Segala sesuatu berkaitan dengan hal tersebut dibuat menurut cara-cara dan aturan yang telah ditentukan.

Wayang kulit adalah boneka yang dibuat dari kulit, ditatah, dan disungging, sehingga menggambarkan bentuk-bentuk yang proporsinya tidak sama dengan manusia sebenarnya. Ia dipergunakan sebagai alat untuk menggambarkan kehidupan manusia. Wayang dapat menimbulkan bayang-bayang pada layar (kelir), dan dapat digerakkan ke kanan, kiri, atas, bawah, dan sudut-sudut tertentu.

Kata purwa berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti pertama, yang terdahulu, atau yang dulu. Zaman purwa berarti zaman dahulu, dan wayang purwa berarti wayang pada zaman dahulu. Menurut Brandes, kata purwa berasal dari mata rantai kata parwa, berarti bab-bab dalam Mahabharata. Hazeu menyetujui hal tersebut, karena kata purwa sesuai dengan gejala metatesis yang dikategorikan sebagai purwa (Mulyono, 1982). Berdasarkan hal tersebut, Sujamto (1992) mengartikan wayang kulit purwa sebagai wayang kulit yang mengambil tema cerita dari epos Mahabharata dan Ramayana.

B. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN WAYANG KULIT PURWA

1. Latar Belakang Penciptaan Wayang

Wayang adalah sebuah kata bahasa Indonesia (Jawa) asli berarti bayang atau bayang-bayang, berasal dari akar yang dengan mendapat awalan wa menjadi kata wayang. Kata-kata di dalam bahasa Jawa yang mempunyai akar kata yang dengan berbagai variasi vokal, antara lain: laying, dhoyong, puyeng, reyong, yang berarti selalu bergerak, tidak tetap, samar-samar, dan sayup-sayup. Kata wayang dan hamayang dahulu berarti mempertunjukkan bayangan, kemudian berkembang menjadi pertunjukan bayang-bayang dan menjadi seni pentas bayang-bayang atau wayang.

Dalam pertunjukkan bayang-bayang diperlukan berbagai perlengkapan, guna memperlancar jalannya cerita, yaitu:

  • Kelir, berasal dari akar kata lir-lar yang berarti terbentang. Jadi kelir berarti sesuatu yang terbentang atau tergelar. Bayangan tampak pada kelir.
  • Blencong, berasal dari akar kata cang-cong yang berarti tidak lurus (dibandingkan dengan kata mencong, menceng, dan lain sebagainya). Blencong adalah lampu dalam pertunjukkan wayang yang mempunyai sumbu tidak lurus.
  • Kothak berasal dari akar kata thak-thik yang berarti dua benda yang bertemu (gathuk). Kothak adalah tempat menyimpan wayang, terbuat dari kayu, terdiri dari dua bagian yang dipertemukan tanpa engsel, yaitu bagian wadhah dan bagian tutup yang terpisah.
  • Kepyak, berasal dari akar kata pyak-pyek yang berarti bunyi dari dua atau beberapa kepingan yang bertemu. Kepyak adalah alat yang terdiri dari tiga atau empat kepingan tembaga (kuningan), dibunyikan dalam pertunjukkan wayang dan mengeluarkan bunyi pyak.
  • Dalang, berasal dari akar kata lang berarti selalu berpindah tempat (langlang). Dalang adalah orang yang memainkan pertunjukkan wayang kulit. Dalam melaksanakan pekerjaannya, ia selalu berpindah tempat, dari satu tempat ke tempat lain.

Brades dan G.A.J Hazeu menyelidiki dan meneliti, kemudian membuat simpulan bahwa istilah-istilah di atas hanya ditemukan di Pulau Jawa, dan merupakan kata dari bahasa Jawa asli. Sejak awal sampai dengan sekarang, peralatan yang digunakan dalam pertunjukkan wayang tidak berubah, yakni kelir, blencong, kothak, kepyak, dan cempala. Semua hal tersebut dapat dipastikan berasal dan diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri.

2. Alasan Orang Membuat Wayang

Pada zaman prasejarah (sebelum kedatangan Orang Hindu), alam pikiran nenek moyang masih sederhana. Mereka dikuasai keinginan untuk mengetahui seluk-beluk semua masalah di sekelilingnya. Mereka percaya bahwa roh orang mati masih tinggal di sekitar lingkungan, misalnya pada pohon besar, gunung-gunung, dan sebagainya. Roh tersebut disebut Da Hyang.

Roh orang meninggal dipandang sebagai pelindung yang kuat, dapat memberi pertolongan, dan bantuan pada orang-orang yang masih hidup. Roh orang meninggal dapat dibangunkan dan didatangkan oleh seorang Saman. Cara mendatangkan roh dilakukan dengan nyanyian, pujian, dan memberikan sesaji. Harapan-harapan tersebut di atas mendorong seseorang membuat wayang, dengan membayangkan roh-roh orang meninggal. Gambar atau lukisan bentuk dari roh-roh yang dibayangkan tidak berwujud gambar realistis dari nenek moyang, tetapi berupa bayangan bersifat remang-remang atau semu. Gambar bayangan tersebut adalah yang dilihat mengelilingi setiap hari waktu pagi, sehingga gambar mempunyai kaki dan tangan yang panjang. Gambar inilah yang menjadi bayangan sesungguhnya. Awalnya —kemungkinan secara kebetulan— dipasang tabir atau kain untuk membuat bayang-bayang. Akhirnya tabir tersebut menjadi perlengkapan wajib.

Permainan untuk mempertunjukkan bayang-bayang tersebut kemudian menjadi sebuah prinsip dan umum. Setiap saat orang ingin berhubungan dengan roh-roh nenek moyang, maka mengadakan pertunjukkan bayang-bayang atau wayang.

3. Waktu Pertunjukkan

Pertunjukkan wayang biasanya dilakukan malam hari, karena orang beranggapan waktu tengah malam roh-roh sedang berkelana dan mengembara. Tempat untuk pertunjukkan adalah dipilih yang khusus, angker, wingit, dan sakral. Tempat tersebut telah disediakan semacam benda guna meletakkan persembahan dan pemujaan seperti dolmen, menhir, dan tahta-tahta dari batu untuk berkumpul dan duduk roh-roh. Kebudayaan ini disebut Megalithikum. Kebudayaan Megalithikum berkembang pada zaman perunggu, sudah tumbuh sejak Neolithikum di Indonesia ± 1500 SM.

Dari uraian dan pernyataan tersebut sampai pada simpulan bahwa:

  1. Pertunjukkan wayang dalam bentuk sederhana, telah ada di Indonesia sebelum kedatangan Orang-orang Hindu.
  2. Dapat dipastikan, bahwa wayang berasal dan diciptakan oleh bangsa Indonesia asli di Jawa, dan digunakan dalam upacara religius atau yang ada hubungannya dengan kepercayaan.
  3. Pertunjukkan wayang dilakukan pada waktu malam dengan tujuan mengadakan hubungan dengan roh para nenek moyang. Malam hari dipercaya sebagai waktu roh-roh mengembara. Waktu malam adalah saat paling tepat untuk bersembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa.
  4. Pertunjukkan wayang muncul sekitar zaman Neolithikum, tahun 1500 SM. Pandangan di atas menyimpulkan asal mula pertunjukkan wayang di Indonesia. (Sri Mulyono, 1983).

4. Pengaruh Kedatangan Hindu-Budha

Sebuah berita dari Tiongkok menyatakan bahwa pada sekitar tahun 664 – 665 datang seorang pendeta bernama Hwu Ning ke Ho-ling (Kalingga), dan bermukim selama tiga tahun. Pendeta ini beragama Budha. Ia berhasil mengadakan kerjasama dengan seorang sarjana Indonesia asli yang bernama Joh-na P.o-tolo (ejaan huruf Tionghoa) atau dalam bahasa Indonesia disebut Jhanabhadra (Sucipto, 1972).

Hwu Ning dan Jhanabhadra menterjemahkan kitab-kitab agama, antara lain kitab Nirwana dan cerita pembakaran mayat sang Budha. Peristiwa ini terjadi sebelum Candi Prambanan dan Borobudur dibangun. Selanjutnya dilakukan oleh cucu-cucu Jhanabhadra pada ± 903, yakni menterjemahkan kitab Ramayana ke dalam bahasa Kawi. Dapat diperkirakan bahwa cerita wayang pada awal zaman Hindu belum menggunakan kutipan cerita dari kitab Ramayana maupun Mahabharata atau belum mempergunakan cerita-cerita tesrebut secara keseluruhan.

Adanya kontak antara kebudayaan Jawa dengan kebudayaan Hindu, maka terjadi proses akulturasi, dengan masuknya epos Ramayana dan Mahabharata dalam cerita wayang (Tim Sosiologi, 2003).

Orang-orang Hindu-Budha datang ke Indonesia dan melihat peranan besar pertunjukkan wayang bagi masyarakat Indonesia (khususnya Jawa). Muncul ide mempergunakan wayang sebagai sarana dakwah bagi agama Hindu-Budha. Sebuah analisis menyebutkan bahwa wayang mengambil dari relief candi, supaya dapat dibawa kemana-mana dan dipertunjukkan. Bentuk-bentuk relief tersebut divisualisasikan ke dalam gambar yang dapat digulung. Analisis tersebut didukung oleh kenyataan bahwa banyak candi memuat relief cerita wayang, misalnya Candi Prambanan di Yogyakarta, Candi Panataran di Blitar, dan Candi Jago di Malang. Pada Candi Jago terdapat bentuk stilasi tokoh-tokoh dalam relief yang mirip dengan wayang di Bali. Pendukung lain analisis ini adalah masih ditemukannya sisa-sisa wayang gulungan kertas yang kemudian dikenal dengan sebutan Wayang Beber, di Wonosari Yogyakarta dan Pacitan Jawa Timur (SP, Soedarso; 1987).

Pada 1301 M seorang putra Prabu Brawijaya I bernama Sungging Prabangkara adalah pangeran yang pandai menggambar, sehingga sang Prabu menugaskan menggambar bentuk dan corak Wayang Beber dengan aneka warna sesuai dengan adegannya. Wayang tersebut berkembang terus-menerus dalam hal bentuk maupun coraknya sampai dengan akhir zaman Majapahit.

5. Pengaruh Kedatangan Islam

Pada masa akhir Kerajaan Majapahit, pengaruh Islam mulai tertanam di masyarakat. Daerah kekuasaan Majapahit banyak yang menganut agama Islam. Di ketahui seorang permaisuri Majapahit memeluk agama Islam yakni Putri Campa, bahkan saudaranya yang beragama Islam hidup di kalangan istana terkenal sebagai ulama besar (Zarkasi, 1977).

Menurut cerita, Raden Patah adalah putra Prabu Brawijaya IV, Raja Majapahit, lahir dari permaisuri yang memeluk agama Islam. Ia dapat merobohkan Majapahit atas bantuan para bupati pesisir Demak, kemudian memindahkan peralatan upacara kerajaan dan pusaka Majapahit ke Demak, sebagai lambang tetap berdirinya kerajaan kesatuan Majapahit dalam bentuk baru di Demak (Soekmono, 1985).
Sekelompok tokoh ulama yang berperan besar dalam menopang berdirinya Kerajaan Demak ialah Wali Sanga. Para Wali berpengaruh dalam keagamaan, pemerintahan, dan politik. Mereka merupakan pengembang kebudayaan dan kesenian khususnya wayang hingga mencapai puncak kesempurnaan, kemudian dikenal sebagai salah satu seni klasik.

Perkembangan wujud wayang pada masa ini merupakan bentuk baru dari perubahan konsep awal. Perwujudan tokoh cerita berubah cara penggayaannya menjadi stilistik dan bentuk perlambang. Stilasi bentuk manusia dan binatang melepaskan dari bentuk berdasar pedoman ikonografi seni India, kemudian menghasilkan bentuk wayang yang berkembang pada zaman Islam. Pada masa ini terjadi perkembangan wayang secara menyeluruh, baik dari segi fisik atau wujud, simbolisasi, dan cara pertunjukkan, semuanya mengalami perubahan dan penyempurnaan.

Busana pada wayang juga tidak lepas dari pengubahan pada masa Islam ini, terjadi penggayaan, sehingga menjadi harmonis dan untuk membedakan tingkat sosial serta kedudukan dari masing-masing tokoh. Beberapa busana wayang yang diciptakan memiliki arti simbolis dan historis, disamping untuk mencapai keselarasan, serta untuk merubah misi yang dibawakan (Sunarto, 1990).

C. MAKNA SIMBOLISME PADA WAYANG KULIT PURWA

Wayang sebenarnya pertunjukkan yang mengungkapkan dan memperagakan pengalaman religius yang merangkum bermacam-macam unsur lambang berupa bahasa, gerak, suara atau bunyi, warna, dan rupa. Dalam sejarah kehidupan religius Jawa isi wayang tersebut mengilhami dan masuk dalam kehidupan religius atau kepercayaan Orang-orang Jawa. Orang-orang Jawa bahkan menghubungkan bahwa mereka adalah keturunan dari tokoh-tokoh wayang tersebut, misalnya Raja Parikesit (keturunan terakhir dari Pandawa) dianggap menurunkan raja-raja yang memerintah di Kediri sampai dengan kekuasaan Prabu Jayabaya.

Struktur dasar cerita wayang diambil dari wiracarita India, Mahabarata dan Ramayana, tetapi seluruh kerangka mitologi mengenai dewa-dewa telah terjadi penambahan dan bersifat pribumi. Para tokoh dalam wiracarita tersebut dianggap leluhur Orang Jawa dan bersemayam di Jawa. Di kawasan Jawa pedalaman terdapat keyakinan bahwa istana Gathutkaca, Pringgondani, terletak dekat Tawang Mangu; Baladewa bertapa di gua samping Grojogan Sewu; Pandawa membangun istana di tempat pengasingan mereka pada dataran tinggi Dieng; dan Semar memasang tumbal yang mampu mengurangi kekuatan jahat pulau Jawa di Gunung Tidar, dekat Magelang (Stange, 1998).

Pada wayang, mulai dari dalang, alat pertunjukkan, dan bentuk-bentuk boneka wayang (tokoh, lakon, dan isi ceritera) sampai dengan arah pewarnaan dari boneka wayang, mengandung makna simbolisme yang mempengaruhi kehidupan budaya Jawa. Simbolisme merujuk pada keterkaitan antara jagad cilik (mikrokosmos) dan jagad gede (makrokosmos), serta struktur alam batin dan dunia fisik yang ada di dalamnya.

Dalam Kitab Centhini karya pujangga Kyai Yasadipura dari Surakarta, berupa syair macapat, tertulis perumpamaan bahwa orang yang sempurna membuat wayang sebagai lambang yang sesungguhnya menunjuk pada Tuhan. Dalang dan wayang merupakan gambaran aneka ragam perbuatan Tuhan. Kelir adalah dunia yang dapat dilihat, boneka wayang yang di susun bersebelahan adalah berbagai kategori ciptaan Tuhan. Batang pisang yang di pakai untuk menancapkan wayang adalah permukaan bumi. Blencong merupakan lampu kehidupan. Gamelan melambangkan harmonisasi peristiwa-peristiwa di dunia (Sri Mulyono, 1983).

Pada lakon wayang, misalnya Kresna Duta, Begawan Cipta Ning, Dewa Ruci dan lain sebagainya, terkandung makna simbolisme yang tinggi bagi kehidupan, karena lakon tersebut melambangkan jalan hidup, dan melukiskan berbagai peristiwa hidup manusia.

D. SOSOK RADEN BIMASENA

Raja Pandu mempunyai lima orang putra yaitu Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Kelima putra raja Pandu ini disebut Pandawa, artinya keturunan atau anak Pandu. Raja Pandu berharap agar Bima di kemudian hari menjadi negarawan yang baik untuk membantu Yudhistira, yang akan menggantikan raja Pandu sebagai raja Ngastina Harapan Pandu tersebut meleset, sebab Bima tidak mempunyai bakat sebagai negarawan. Bima tidak berbakat sebagai negarawan karena sifatnya sebagai pendiam yang tidak memungkinkannya menjadi negarawan yang baik. Lagi pula Bima berbicara tidak mengingat tempat dan suasana.

Bima adalah memiliki sifat pendian dan mandiri, artinya segala kesukaran dan bahaya yang dihadapi sendiri. Bima tidak mau menggangu atau mengurus kepentingan orang lain, kecuali kalau diminta untuk menolong. Bima mempunyai kemauan kuat dan pendirian tegas. Keberanian Bima luar biasa, dan jalannya sangat kencang, sampai orang menggambarkan Bima berjalan bagaikan kilat diiringi angin topan. Sifat Bima yang lain adalah jujur dan gurususrusa, artinya sangat patuh dan hormat pada guru. Hal itu disebut juga sembah guru dan termasuk salah satu dari lima sembah, yang diketahui Bima dari kakeknya Abiyasa. Lima sembah tersebut antara lain sembah kepada Sang Kholiq, raja, kedua orang tua, guru, dan diri pribadi atau harga diri. Berdasarkan pengetahuan tersebut, Bima teramat taat kepada gurunya (Resi Durna), apapun yang diperintahkan diterima dengan penuh hormat dan keyakinan tinggi akan kebenarannya, serta dilakukan dengan tulus hati tanpa berprasangka buruk (Adikara, 1984).

III. ANALISIS

A. SIMBOLISME LAKON DEWA RUCI

Kebanyakan mistikus Jawa menyebut cerita Dewa Ruci merupakan wujud lakon mistik yang paling dalam makna ceritanya di pertunjukkan wayang. Cerita Dewa Ruci ditulis dalam bahasa Kawi (Jawa Kuna) oleh Empu Widjajaka di Mamenang (Seno Sastroamidjojo, 1967).

Jalan ceritera lakon Dewa Ruci dan makna-makna yang terkandung di dalamnya, yakni:

1. Permusyawarahan di Astina. Isinya Prabu Duryudana beserta bawahannya sedang membicarakan akan datangnya perang Bharatayudha. Pihak Kurawa khawatir terhadap kekuatan pihak Pandawa, apalagi ada Raden Bima yang dianggap sebagai kekuatan inti dari Pandawa. Yang dibicarakan adalah cara memusnahkan Bima dari muka bumi tanpa mempergunakan kekerasan. Akhirnya diperoleh kesepakatan bahwa yang bisa membunuh Bima dengan tipu muslihat adalah Resi Durna. Resi Durna adalah Guru (yang luhur) dari Raden Bima, dan ia sangat taat terhadap gurunya.
Pada suatu saat, Bima mendapat perintah dari Resi Durna untuk mencari air hidup. Beliau berkata, “ Barang siapa memiliki „air hidup., maka akan mencapai tingkat hidup yang sempurna dan suci, serta „ilmu kebebasan jiwa. akan menjadi miliknya”. Dalam lakon ini Resi Durna dimaknai sebagai lambang angan-angan atau budi yang menggerakkan perasaan “aku” tokoh Bima.

2. Untuk memperoleh air hidup ini tidak mudah, karena terletak ditempat yang berbahaya yakni Gunung Reksa Muka. Belum pernah ada orang keluar dengan selamat dari rimba gunung tersebut, meskipun demikian Bima bertekad keras berangkat dan tidak menghiraukan ucapan saudara-saudaranya, yang bertujuan menghalangi langkah Bima. Makna “menghalang” ialah sebagai perlambang badan wadag dan berbagai nafsu, berfungsi mengimbangi suatu hasrat, supaya selalu awas dan waspada atas kegiatan atau pikiran ke-akuan yang mampu menjerumuskan ke hal-hal buruk.

Sampai ditujuan, Bima dihadang Raksasa Rukmuka dan Rukmakala, terjadi peperangan dahsyat. Perang tersebut melambangkan tekad menggali akal budi, tepatnya hasrat melawan angan-angan yang tidak senonoh, dan mengendalikan hawa nafsu buruk. Akhirnya Bima menang, Rukmuka dan Rukmakala mati.

Ternyata kedua raksasa itu adalah penjelmaan dari Batara Indra dan Batara Bayu yang terkena kutuk oleh Batara Guru. Sebagai tanda terima kasih, Batara Indra dan Batara Bayu memberi hadiah berupa Sabuk Bara Tjinde Wilis, yang melambangkan adanya kebulatan lahir dan batin Bima dalam melaksanakan tekad. Ia juga diberitahu bahwa air kehidupan tidak ada di Gunung Reksa Muka.

3. Bima kembali ke Astina dan menemui Durna. Ia menceritakan bahwa air hidup tidak ada di Gunung Reksa Muka, kemudian Durna berkata, “Letak „air hidup. ada di Gua Sigrangga tengah Hutan Palasara”.

4. Bima pergi ke Gua Sigrangga. Ia dihadang oleh marabahaya berupa ular naga besar di tempat itu, terjadi pertarungan antara Bima dan ular naga. Naga kalah dan berubah menjadi Dewi Maheswari. Sang Dewi menjadi naga juga karena kutukan Batara Guru. Sebagai ungkapan rasa terima kasih, sang Dewi memberitahu bahwa „air hidup. tidak terdapat di gua itu.

Bima merenung, kembali memantapkan niat dan bertanya kepada Durna. Durna menjawab, “Seorang guru berhak menguji muridnya paling sedikit dua kali. Pertama diuji ketulusannya, kedua diuji kesetiaannya, dan ketiga mengenai ketetapan hidupnya”. Ketiga kali Durna memberi Bima petunjuk untuk pergi ke Laut Selatan.

5. Ketika hendak berangkat ke Laut Selatan, Bima kembali dihalang-halangi saudara-saudaranya. Ia tidak peduli dan meninggalkan saudara-saudaranya tersebut. Adegan ini melambangkan tindakan membersihkan diri, baik berhubungan dengan yang disukainya maupun yang tidak.

6. Setelah sampai di Laut Selatan. Bima ternyata ditunggu oleh empat orang saudara seperguruannya (sedulur tunggal bayu) yang hendak menghalang-halangi niatnya, karena dorongan rasa kasih sayang pada Bima. Filosofinya ialah sang Bima (merupakan lambang tiap manusia) dalam usaha mencari „air hidup. atau kesucian batin, selalu dilindungi oleh keempat saudara sekekuatan (sedulur papat lima pancer).

Nasehat-nasehat dari saudara-saudara tunggal bayu juga tidak dihiraukan. Peristiwa ini mengandung arti bahwa hawa nafsu tidak dapat dikendalikan. Ini dimaknai sebagai perjuangan manusia melepaskan diri dari cengkeraman hawa nafsu atau sifat murka untuk bertemu dengan Tuhan, jika dikaitkan dengan agama Islam, maknanya sama dengan mengambil air wudlu sebelum melaksanakan sembahyang (menghadap Tuhan).

7. Maksud hati Bima ingin segera menemukan „air hidup., tetapi ia dihadang oleh ular besar yang bernama Nembur Nawa. Naga ini melambangkan bahaya besar yang mengancam kehidupan (semua orang). Bahaya tersebut menimbulkan rasa takut, khawatir akan mati dan lain-lain, bagi orang-orang yang tidak bertauhid atau berhasrat teguh. Lain halnya dengan Bima, ia berani melawan naga tersebut, meskipun dengan susah payah mengeluarkan segenap kekuatan. Akhirnya naga terbunuh dengan kuku pancanakanya.

Peristiwa di atas melambangkan kemenangan manusia dalam mengalahkan hawa nafsu sebagai musuh besar dalam kehidupan, dengan menyatukan kelima kekuatan yang ada pada dirinya sendiri (Kuku Pancanaka berasal dari kata panca berarti lima dan naka berarti kuku atau kekuatan. Jadi makna dari Kuku Pancanaka adalah lima kekuatan yang disatukan).

8. Setelah peristiwa peperangan tersebut Bima kehabisan tenaga. Akhirnya ia pingsan diombang-ambing ombak samudera. Dewa Ruci melihatnya dan merasa kasihan kepada Bima. Akhirnya Dewa Ruci mendekati dan menolong Bima dengan menampakkan dirinya sebagai anak kerdil atau bocah badjang, yang menyerupai Bima di waktu kecil. Peristiwa ini bermakna seorang bayi pada umumnya masih suci murni pada waktu lahir.

Pada adegan 1 sampai dengan 8 melambangkan roh (ke-akuan) Bima telah bertemu dengan sang Marbudyengrat (Tuhan Yang Maha Esa). Setelah Bima mengalami penderitaan yang panjang karena dia melakukan mesubrata dengan mematahkan (meper) panca inderanya untuk tetap tetep, aneng, dan eling.

Setelah bertemu dengan Dewa Ruci, Bima mendapatkan banyak wejangan tentang hidup, yang terurai dalam percakapan berikut ini:
Bima : “Kenapa Dewa Ruci bisa hidup senang di tempat sunyi,sepi, dan jauh dari keramaian ?”

Dewa Ruci : “Ketahuilah anakku Bima. Pada hakikatnya rasa mensyukuri senang dapat memperbesar rasa terima kasih dan keteguhanku. Suatu keramaian atau pesta ria aku tidak merasa senang. Kekurangan dan kemiskinan bagiku tidak berarti sebagai penderitaan atau kesedihan. Cacat aku anggap tidak merugikan diriku. Makananku sangat sederhana.”

„Aku. dikiaskan dengan kepribadian Bima.

Bima : “Apakah paugeraning ngagesang atau hakikat hidup yang sejati itu?”

Dewa Ruci : “Hai anakku, badan wadag atau tubuh manusia itu mengandung kelima jenis hawa nafsu yang menyatu disebut Panca Buta (sedulur papat lima pancer). Kelima hawa nafsu tersebut merupakan hadiah hidup. Tegasnya hidup tanpa Panca Buta itu tidak sempurna, jika hadiah sepenting itu tidak dipelihara sebaik-baiknya dan dikendalikan secara wajar, kemungkinan besar hawa nafsu akan keluar dari kebenaran atau menyeleweng. Tiap manusia wajib mengawasi dengan cermat gerak-gerik hawa nafsu pribadi, serta membimbingnya ke arah keselarasan di segala bidang. Usaha tersebut apabila belum berhasil atau meluap menjadi angkara murka, maka orang bersangkutan akan mudah terjerumus dalam jurang dosa yang beraneka corak. Dosa itu seharusnya dibuang sejauh mungkin. Adapun cara mengesampingkannya adalah menghindari sifat angkara murka. Hal itu hanya dapat terlaksana dengan jalan melatih diri terus-menerus, dengan tujuan menentramkan badan dan pikiran secara wajar (keadaan tata, titi, tentrem, dan tatas) serta memurnikan kepribadian.

Ketahuilah anakku, segala sesuatu di seluruh alam, hakikatnya hanya bayangan belaka, tidak abadi. Oleh sebab itu, keliru apabila tujuan dan kegiatan orang hanya diperuntukkan mengejar keduniawian saja, karena tanpa batas.

Lain halnya dengan Panjitamala yang berasal dari sang Adnjana Wasesa disebut pula sang Cipta Nirmala atau Kawruh Sejati. Pengetahuan atau kesadaran yang sejati timbul dari kesucian, kemurnian serta kejernihan batin yang mutlak.

Hai anakku, sehubungan dengan hal-hal tersebut berdaya upayalah sekuat tenaga, ke arah tercapainya keadaan murni sejati laksana „air hidup. (Tirta Amarta). Jangan pisah sekejap mata dari pembersihan dirimu dengan „air hidup. itu. Hanya dengan perbuatan demikian, yang dapat menghindarkan dan membersihkan jasadmu dari berbagai marabahaya beserta penderitaannya.”

9. Setelah jatining pitedah (pokok petuah) tadi meresap ke dalam sanubari sang Bima. Ia dipersilakan memasuki lubang telinga kiri sang Dewa Ruci terus ke dalam tubuhnya, untuk mendapat wejangan lebih lanjut. Peristiwa ini melambangkan jumbuhing atau manunggaling kawula Gusti, setelah Bima mencapai kesempurnaan hidup, karena sudah tahu tentang hakikat hidup. Orang yang seperti ini, berarti telah mencapai keadaan unio mystica dan sadar akan arti sangkan paraning dumadi. Segala ajaran Dewa Ruci dalam hubungan ini melambangkan mustikaning budhi (sumber segala budi pekerti), telah menjadi darah dagingnya. Peristiwa memasuki tubuh sang Dewa Ruci, bermakna bahwa watak sang Bima telah mengalami perubahan penting menuju kebaikan.

10. Setelah mendapat wejangan dalam tubuh Dewa Ruci, tiba-tiba Bima berada di pantai tanpa diketahui caranya. Sejak peristiwa tersebut sang Bima tidak suka mengurai rambut lagi, melainkan mengenakan sanggul yang dinamakan Gelung Minangkoro Cinandhi Renggo endhek ngarep dhuwur mburi. Gelung itu melambangkan watak sopan. Tepatnya, ia tidak mau memamerkan kepandaiannya tersebut, melainkan menyimpan dalam diri (ginelung wonten) kratoning budhi (hati sanubari), meskipun memiliki ilmu pengetahuan tinggi, kecerdasan, budi pekerti yang luhur). Atas dasar itu, ia bertindak bijaksana, adil, dapat mengatasi segala masalah dengan selaras, serta senantiasa memusatkan kepribadian kepada Tuhan Yang Maha Esa.

B. FAKTUALISASI LAKON DEWA RUCI DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT

Simbolisasi dari cerita Dewa Ruci, sering difaktualisasikan dalam bentuk gambar, lukisan, relief, dan patung, yang di pasang pada rumah tinggal, kantor-kantor, lembaga, paguron, tempat-tempat pertemuan aliran kebatinan, dan lain-lain . Mereka memasang gambar-gambar tersebut dengan maksud mengambil pelajaran dari bermacam-macam simbolisme dalam cerita Dewa Ruci tersebut. Faktualisasi yang dapat ditemui pada wilayah Surakarta diantaranya adalah:

1. Gambar atau relief Raden Bimasena sedang bergelut melawan naga di lautan sering di pasang di instansi-instansi atau lembaga pemerintah, misalnya di SMK Negeri 9 Surakarta dan SMA Negeri 7 Surakarta. Gambar tersebut melambangkan semangat seorang murid yang teguh hati melaksanakan perintah atau ajaran gurunya, meskipun lewat perjuangan dan tantangan berat, tetap dilaksanakan dan ternyata berhasil.

Gambar Relief Lakon Dewa Ruci Pada Gapura SMK Negeri 9 Surakarta

Gambar Relief Lakon Dewa Ruci Pada Gapura SMK Negeri 9 Surakarta

2. Patung Bima bergulat dengan naga, berada di sebelah timur Terminal Tirtonadi Solo, mengandung makna sebagai pembangkit semangat juang warga Solo khususnya dan warga Indonesia pada umumnya. Watak-watak Bima supaya dapat diteladani.

Bidang lain yang menggunakan Bima sebagai simbol, antara lain:

  1. Nama Bimasakti dipergunakan dalam ilmu fisika (Indonesia untuk menamakan salah satu gugus bintang di antariksa yaitu Galaksi Bimasakti.
  2. Kuku Pancanaka atau Kuku Bima karena keampuhannya bisa menyobek atau membunuh naga besar. Para produsen jamu mengambil karakter Kuku Bima untuk merk produk, sebagai lambang kehebatan atau keperkasaan (pria) yang diperoleh dari khasiat jamunya tersebut.

IV. SIMPULAN

Ceritera Dewa Ruci merupakan uraian dan rangkaian dari perjalanan hidup manusia yang disimbolkan dengan beberapa kejadian. Berdasarkan cerita tersebut, terdapat pelajaran dan hikmah mendalam dan bermanfaat yang dapat dijadikan acuan manusia dalam beberapa persoalan hidup, antara lain:

  1. Memberi pada siapapun tentang cara memaknai hakikat hidup, dan hidup sewajarnya, yang akhirnya dapat mengenal serta mengarahkan kehidupan pribadi masing-masing ke jalan lurus.
  2. Dianjurkan mencari guru yang layak dan baik. Tegasnya yang dapat di percaya dan membimbing mencapai tujuan hidup.
    3. Perintah guru seyogyanya ditaati dan dilaksanakan sebaik-baiknya (kanthi setya tuhuning manah) tanpa ragu-ragu, menuju tercapainya kesempurnaan hidup.

DAFTAR PUSTAKA

Adikara, S.P. 1984. Unio Mystica Bima. ITB Press: Bandung.
Amidjojo, Seno Sastro. 1964. Renungan Tentang Pertunjukan Wayang Kulit. PT Kinta: Jakarta.
Bastomi, Suwaji. 1993. Nilai-nilai Seni Pewayangan. Dahara Prize: Semarang.
Budiono, Herusatoto. 1987. Simbolisme dalam Masyarakat Jawa. Hanindita:
Yogyakarta.
Mulyono, Sri. 1982. Wayang, Asal-usul, Filsafat, dan Masa Depannya. Gunung
Agung: Jakarta.
___________. 1983. Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang. Gunung Agung: Jakarta.
Purwadi, dkk. 2005. Ensiklopedi Kebudayaan Jawa. Bina Media: Yogyakarta. Sedyawati, Edi; Darmono, Sapardi Djoko. 1983. Seni dalam Masyarakat Indonesia. PT Gramedia: Jakarta.
Soekmono. 1985. Pengantar Sejarah Kebudayaan 3. Kanisius: Yogyakarta.
SP, Sudarso. 1987. Wanda, Suatu Studi Resep Pembuatan Wanda Wayang, dan Hubungannya dengan Resepsi Realistik. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Yogyakarta.
Stange, Paul. 1998. Politik Perhatian Rasa dalam Kebudayaan Jawa. LKIS: Yogyakarta.
Sujamto. 1992. Wayang dan Budaya Jawa. Dahara Prize: Semarang.
Sumaryoto. 1990. Ensiklopedia Wayang Purwa I: Proyek Pembinaan Kesenian
Direktur Jenderal Kebudayaan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Jakarta.
Sunarto. 1990. Seni Gatra Wayang Kulit Purwa. Balai Pustaka: Jakarta.
______. 1967. Ceritera Dewa Ruci. PT Kinta: Jakarta.
Tim Sosiologi. 2003. Sosiologi Suatu Kajian Kehidupan Masyarakat. Ghalia Indonesia: Jakarta.
Zarkasi, Effendi. 1977. Unsur Islam dalam Pewayangan. PT Alma Arief: Bandung.

Leave a comment