Semar Kuning [9]


Bagong-Kedu

Namun pagi itu, ternyata di puncak gunung telah ada seseorang yang tengah duduk bersantai di depan sebuah gubuk sederhana. Entah sejak kapan orang itu berada di situ karena tidak terlihat saat dia mendaki ataupun melewati lereng hingga sampai puncak. Dan anehnya para penghuni hutan dan gunung itu tidak ada yang tahu.

Sosok itu sungguh unik. Badannya pendek bulat, wajahnya bisa dibilang berantakan. Namun bila dipandang sangat nyaman dirasakan. Tidak lain dan tidak bukan, itulah sosok Semar.

Sambil bersantai menikmati indah dan sejuknya pagi, dia melantunkan sebuah tembang macapat. Bersenandung lirih seraya merenungi nada dan maknanya.

Mingkar-mingkur ing angkara
akarana karênan mardisiwi
sinawung rêsmining kidung
sinuba sinukarta
mrih krêtarta pakartining ngèlmu luhung
kang tumrap nèng Tanah Jawa
agama agêming aji

Menghindarkan diri dari angkara
pabila hendak mendidik putra
tersirat dalam indahnya tembang nada
dihias agar tampak indah terasa
agar tujuan ilmu luhur tercapai di suksma
yang berlaku di tanah Jawa
senjata dan pedoman hidup adalah agama

Jinêjêr nèng Wedhatama
mrih tan kêmba kêmbênganing pambudi
môngka nadyan tuwa pikun
yèn tan mikani rasa
yêkti sêpi asêpa lir sêpah samun
samangsane pakumpulan
gonyak-ganyuk nglêlingsêmi

Disusun dalam ajaran utama
tak boleh malas berselimutlah budi mulia
maka walaupun tlah pikun dan tua
pabila tak mengolah rasa
sungguh sepi dan hambar layaknya sampah hampa
di tengah pergaulan para tetangga
memilukan dan memalukan smua

Sudah lama Semar tidak mengunjungi tempat ini. Kangen rasanya menikmati suasana disini. Teringat dia dulu pernah sekian lama tinggal di sini dalam ketentraman, jauh dari hingar bingar kehidupan dunia yang kemilau tapi semu, dunia yang indah namun tak abadi, dunia yang serasa nikmat namun sejatinya laknat. Untuk mengulang kenang, dilanjutkan kembali tembang macapat tadi.

Gugu karsane priyôngga
nora nganggo pêparah lamun angling
lumuh ingaran balilu
ugêr guru alêman
nanging janma ingkang wus waspadèng sêmu
sinamun ing samudana
sêsadon ingadu manis

Mengikuti kemauan pribadi
bicara tak berdasar pabila diskusi
tak mau dianggap bodoh diri
slalu berharap puja dan puji
namun orang yang tlah memahami ilmu sejati
tak bisa ditebak kualitas diri
berprasangka baik dan manis hati

Si pêngung nora nglêgewa
sang sayarda dènira cêcariwis
ngandhar-andhar angêndhukur
kandhane nora kaprah
saya elok alongka longkanganipun
si wasis waskitha ngalah
ngalingi marang si pingging

Si dungu tidak menyadari
bualannya semakin menjadi-jadi
ngelantur kesana kemari
bicaranya tak masuk akal dan hati
semakin aneh setiap kali sepanjang hari
(sebaliknya) si pandai mengalah dan berhati-hati
aib dan lemah si bodoh ditutupi

Mangkono ngèlmu kang nyata
sanyatane mung wèh rêsêping ati
bungah ingaranan cubluk
sukèng tyas yèn dèn ina
nora kaya si punggung anggung gumunggung
ugungan sadina-dina
aja mangkono wong urip

Demikianlah ilmu yang nyata
kenyataannya memberikan ketentraman suasana
tak sedih dibilang bodoh tak tahu apa-apa
tetap gembira jika dihina
tak seperti si dungu yang selalu menepuk dada
ingin dipuja puji sepanjang masa
janganlah begitu hai manusia

Dan kemudian sosok itu duduk bersila
Dalam diam mengheningkan cipta
sepi dan khusyu suasana tercipta

Tiba-tiba binatang hutan di sekitarnya yang semula riuh bersuara menyambut pagi, mak clakep … seketika diam … hening … sepi … tanpa suara. Keheningan nuansa berlangsung cukup lama, dan …. Sungguh ajaib ! Berasal dari sosok itu tiba-tiba keluar cahaya kuning yang melingkupi seluruh badan. Sejurus kemudian cahya kuning itu merambat dan mewarnai langit … hingga birunya menjadi kuning. Ya … langit di sekitar gunung Tidar seketika berubah menjadi kuning !!

Dan di kaki gunung Tidar, Kresna, Bima dan Arjuna serta ketiga panakawan, Gareng, Petruk dan Bagong, tengah menyaksikan itu semua. Mereka memandang takjub fenomena cakrawala di sekitar gunung itu bermandikan cahya kekuningan. Indah dan menawan dan menyisakan kedamaian saat menikmatinya.

“Awas Gong, lalat mau masuk ke mulut mu tuh ! Lagian lihat yang di atas sampai ndlongop gitu, ngowoh lagi, iler dleweran sampai nggak terasa. Tutup cangkemmu Gong !” Petruk menepuk bahu Bagong yang tengah menengadah.

“Ora ngono Kang, bukan begitu Kang Petruk, apa Kang Petruk tidak tahu tabiat saya kalau lagi serius. Ya begini nih Bagong kalau lagi berfikir keras !” ujar Bagong tak mau kalah

“Lho, emangnya apa yang sedang engkau pikirkan Gong ?”

“Aku sedang mengingat-ingat jaman dulu, sepertinya aku pernah melihat pemandangan yang seperti ini. Oh iya Kang aku kelingan, aku ingat ….. dulu waktu aku muncul pertama kali di dunia ini, suasananya ya kayak begini nih’

“Lho kamu tuh nggak dilahirkan sama mamih Kanastren to Gong ?”

“Waktu itu perpisahan antara Ramane Semar dengan Resi Manumanasa yang akan mukswa meninggalkan dunia ini. Ramane sedih karena tidak akan ada teman lagi kelak seandainya Resi Manumanasa sudah tidak ada. Akibat kesedihan Ramane, sekaligus keinginan tetap bersama karib, guru, sekaligus ndara, namun di pisah oleh takdir, Ramane berduka dan alam-pun ikut berpartisipasi karenanya. Hingga berdasarkan petunjuk Resi Manumanasa, maka aku kemudian nongol dari bayangan Ramane Semar. Makanya aku kan mirip banget sama Ramane. Waktu kejadian itu, suasananya ya seperti ini nih. Serem dan menghanyutkan”

“Masak serem sih Gong, lha wong kalau saya merasanya justru syahdu dan menentramkan hati kok. Terus critanya Gimana Gong ?” tanya Gareng ingin tahu.

“Ramane pernah crita sama aku, bahwa cahya kuning adalah warna persahabatan. Juga warna kuning melambangkan sinar sang bagaskara, cerah, membangkitkan energi dan ketetapan hati. Namun ada kalanya sifat positif tadi berbaur dengan energi negatif akibat sedang galau, gundah, sedih atau tiba-tiba muncul keinginan yang tidak lumrah.”

“Wah menarik sekali Gong, terus bagaimana pangandikane Kakang Semar ?” Arjuna yang merasa tertarik pun ikut bertanya.

“Ehm … ehm .. ehm .. wah wah wah … Bagong lagi di tanggap nih. Jarang kula memperoleh kesempatan seperti ini, memperlihatkan kapasitas, kapabilitas, kualitas dan intelektualitas diri Bagong. Bukan begitu nDara Janaka ?”

“Halah … trembelanmu Gong !” ujar Gareng sebel kalau sudah melihat Bagong jumawa begitu

“Iya Gong, silahkan lanjutkan ujaranmu yang serba tas tas tas tas tadi” lanjut Arjuna coba hangatkan suasana.

“Begini semuanya … oh sebentar … sebentar … apakah nDara Werkudara dan nDara Kresna juga akan mendengarkan yang saya wedarkan ini ?” suara Bagong meninggi seiring dengan tingginya ke-pede-annya.

“Heeeemmmmm …” Werkudara hanya mendehem.

“Lanjut Gong !” Kresna meminta Bagong meneruskan cerita.

“Begini ndara-ndara dan kakang-kakang semua … selain yang telah aku jelaskan di atas, Ramane Semar juga pernah bercerita kepadaku. Bahwa KuNing itu juga merupakan sebuah Laku Wening. Laku yang diniatkan tuk berserah diri atau berpasrah kepada Tuhan semata dan hanya dapat diwujudkan dengan laku batin meneng atau diam yang terpusat di hati. Melalui apa ? Tersenyum, rileks melepaskan semua ketegangan tubuh dan pikiran, menjauhkan diri dari keinginan-keinginan yang mengotori pikiran. Laku meneng akan mengarahkan hati kepada Tuhan jika dilakukan tanpa pamrih dan pasrah diri, tidak memaksakan diri, sehingga batin menjadi wening, jernih. Rasa hati wening ini menumbuhkan kesadaran hati yang sejati bahwa Tuhan sungguh hadir mengasihi dirinya. Buahnya hati sejati menjadi dunung, dikaruniai pemahaman bahwa hidupnya harus menyatu dengan Sang Pencipta. Ning … Hening … Wening nyawiji marang kang urip …. “

“Apik Gong, bagus itu. Jadi kesimpulannya yang menyebabkan cahaya kuning di cakrawala sekitar gunung Tidar ini adalah Kakang Semar kan ?” tanya Kresna

“Berdasarkan penjabaran yang telah saya jelaskan tadi, dilandasi studi historis, yuridis, empiris, sporadis dan nylekutis, maka dapat saya pastikan bahwa Ramane Semar ada di atas gunung itu !” ujar Bagong seraya tangannya mengarah kepada puncak gunung Tidar.

“Daraaaaa … dan kamu Arjuna, kalau begitu tidak usah menunggu lama, ayo kita bersama-sama menuju kesana !” teriak Kresna mengajak adik adiknya.

“Heeemmm …. ayo Jlitheng kakangku, tak derekake !”

“Sendika dawuh Kakang”

“Kula sak-adi adiku rak nggih di ajak ta … Siap nDara !”

Leave a comment